Kampung gong manak mekar di hatiku. Di tanah inilah tertumpahnya darahku, 3 dekad yang lalu. Di sinilah juga mulanya aku mengenal liku, mengenal tiga, dua dan satu.
Walau terbang beribu batu, ke tanah ini jua kembalinya diriku. Nun di kaki langit lena tidurnya si ibu, setia menunggu lahirnya zuriat yang satu. Peraksi, gelaran di beri buat si ibu.
Tanah tumpahnya darahku subur menghijau, mendamaikan jiwa yang galau. Walau tanah panjang serelau, hasilnya umpama emas berkilau.
Keringat si tua masih setia berbakti, kepada tanah si tua berbudi. Jika bersemi, penuhlah saku sebilangan penghuni. Jika tiada, tidak pula ditangisi nasib diri.
Kini ku kembali, bukan bersendiri, tapi ditemani. Insan-insan suci pendamping sisi, pengubat lara hati. Moga bisa memahami, sejarah diri bukan sang puteri.
Si kerdil ini, akan ku terapkan jati diri. Agar tidak lupa diri, walau di mana kaki berpaksi.
Tanah tumpahnya darahku subur menghijau, mendamaikan jiwa yang galau. Walau tanah panjang serelau, hasilnya umpama emas berkilau.
Keringat si tua masih setia berbakti, kepada tanah si tua berbudi. Jika bersemi, penuhlah saku sebilangan penghuni. Jika tiada, tidak pula ditangisi nasib diri.
Kini ku kembali, bukan bersendiri, tapi ditemani. Insan-insan suci pendamping sisi, pengubat lara hati. Moga bisa memahami, sejarah diri bukan sang puteri.
Si kerdil ini, akan ku terapkan jati diri. Agar tidak lupa diri, walau di mana kaki berpaksi.
No comments:
Post a Comment